kap(social networking)

Social Networking (Jejaring Sosial)
Pengertian
Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai , visi, ide, teman, keturunan, dll. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga. Istilah ini diperkenalkan oleh profesor J.A. Barnes di tahun 1954.
Sejarah Jejaring Sosial
Sejak komputer dapat dihubungkan satu dengan lainnya dengan adanya internet banyak upaya awal untuk mendukung jejaring sosial melalui komunikasi antar komputer. Situs jejaring sosial diawali oleh Classmates.com pada tahun 1995 yang berfokus pada hubungan antar mantan teman sekolah dan SixDegrees.com pada tahun 1997 yang membuat ikatan tidak langsung. Dua model berbeda dari jejaring sosial yang lahir sekitar pada tahun 1999 adalah berbasiskan kepercayaan yang dikembangkan oleh Epinions.com, dan jejaring sosial yang berbasiskan pertemanan seperti yang dikembangkan oleh Uskup Jonathan yang kemudian dipakai pada beberapa situs UK regional di antara 1999 dan 2001. Inovasi meliputi tidak hanya memperlihatkan siapa berteman dengan siapa, tetapi memberikan pengguna kontrol yang lebih akan isi dan hubungan. Jejaring sosial mulai menjadi bagian dari strategi internet bisnis sekitar tahun 2005 ketika Yahoo meluncurkan Yahoo! 360°. Pada bulan juli 2005 News Corporation membeli MySpace, diikuti oleh ITV (UK) membeli Friends Reunited pada Desember 2005. Diperkirakan ada lebih dari 200 situs jejaring sosial menggunakan model jejaring sosial ini.
Layanan Jejaring Sosial
Banyak layanan jejaring sosial berbasiskan web yang menyediakan kumpulan cara yang beragam bagi pengguna untuk dapat berinteraksi seperti chat, messaging, email, video, chat suara, share file, blog, diskusi grup, dan lain-lain. Umumnya jejaring sosial memberikan layanan untuk membuat biodata dirinya. Pengguna dapat meng-upload foto dirinya dan dapat menjadi teman dengan pengguna lainnya. Beberapa jejaring sosial memiliki fitur tambahan seperti pembuatan grup untuk dapat saling sharing didalamnya.
Mentoring
Mentoring merupakan salah satu sarana yang di dalamnya terdapat proses belajar.
Orientasi dari mentoring itu adalah pembentukan karakter dan kepribadian seseorang sebagai mentee/ protégé (peserta mentoring) karena adanya seorang mentor dalam suatu wadah atau organisasi.
Mentoring adalah perilaku perilaku atau proses yang dipolakan dengan mana seseorang bertindak sebagai penasihat kepada orang lain.
Beberapa definisi Mentoring:
Becky Wai-Packard Mount Holyoke College
“Mentoring is a term generally used to describe a relationship between a less experienced
individual, called a mentee or protégé, and a more experienced individual known as a mentor”.
The Merriam-Webster dalam http://www.m-w.com/ netdict.htm mendefenisikan mentor sebagai konselor atau pemandu yang dapat dipercaya.
Anesthesiology Departement of Cleveland MetroHealth System dalam http://www.metrohealth.org/ clinical/anes/mentor.asp mendefenisikan mentor sebagai pembimbing sekaligus pelatih yang setia.
Sejarah Mentoring
Kata mentor berasal dari kisah the Odyssey, yang ditulis oleh Homer, seorang sastrawan Yunani. Ketika Ulysses bersiap untuk berperang melawan Troya, ia menyadari bahwa ia akan meninggalkan satu-satunya ahli waris kerajaan. Ulysses memperkirakan bahwa peperangan ini akan memakan waktu sedikitnya lima tahun. Ia menyadari bahwa putranya butuh waktu untuk belajar dan dilatih mengenai bagaimana memerintah sebuah negara ketika ayahnya pergi ke medan perang. Maka ia mempekerjakan seorang kerabat keluarga yang dapat dipercayainya untuk menjadi pembimbing anaknya. Orang itu bernama Mentor. Mentor sebagai seorang yang hangat dan non-formal Mentor adalah seorang yang bukan hanya penuh kebijaksanaan namun juga handal dalam menangani orang lain. Homer menonjolkan peran Mentor sebagai seorang kerabat keluarga, yaitu seseorang yang dapat menjalin hubungan non-formal dan hangat. Sesungguhnya, di zaman ini, seorang mentor yang efektif perlu menjadi seorang teman yang mampu menciptakan suatu suasana belajar yang dinamis dan membuat seorang mentee merasa aman. Mentor adalah seperti kerabat keluarga, yaitu ia menerima sang mentee sepenuhnya tanpa syarat, serta kesetiaan dan kepedulian yang dalam. Disini, kata kuncinya adalah “tidak bersyarat”. Artinya, ia tidak akan memaksakan sang mentee untuk berubah padahal orang ini belum siap untuk melakukan hal itu. Ia juga tidak akan menilai dan menuntut namun memahami dan mengenali berbagai aspek kepribadian sang mentee. Di dalam sejarah budaya Yunani Kuno, praktek mentoring dikenal secara umum. Misalnya, Sokrates menjadi mentor Plato. Plato sendiri menjadi mentor dari Aristoteles dan kemudian, Aristoteles menjadi menjadi mentor Alexander Agung. Fitur yang menonjol dalam metode mentoring Yunani terletak pada sangat ditekankannya teori, berorientasi pada suasana belajar akademis, dan adanya posisi mentee yang pasif. Sebagai bandingannya, dalam model lain di Timur tengah, misalnya, di tengah orang Yahudi, mentoring lebih bersifat relasional, berbasis uji coba dan dalam bentuk pelatihan praktek kerja nyata. Kini mungkin nama proses tersebut dikenal dengan nama pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning). Di Indonesia, mentoring dilakukan di dalam pesantren, perguruan silat, dan komunitas persekutuan agama atau di lembaga swadaya masyarakat. Disana pada umumnya proses mentoring dilaksanakan secara intuitif.
Seorang mentor adalah seseorang, biasanya lebih tua dan selalu lebih berpengalaman, yang membantu dan memandu pengembangan individu yang lain. Bimbingan seorang mentor ini tidak dilaksanakan karena adanya maksud untuk keuntungan pribadi Secara individu, kegiatan mentoring tidak hanya fokus pada bagaimana memberi nasehat, tapi juga pada kemauan untuk mendengarkan nasehat. Saling nasehat menasehati ini diterapkan dalam kegiatan mentoring sehingga tercipta suasana saling belajar yang akan memberikan perubahan ke titik yang lebih baik. Dari tidak tahu menjadi tahu bahkan masing-masing menjadi ahli dan lebih berpengalaman. Perasaan yang mengerti dengan tujuan dan adanya kemampuan yang bersifat penuh arti antara mentor dan mentee adalah kunci kepada sukses organisasi dan pribadi.

Mentoring bisa merupakan suatu alat efektif tentang adanya kebangkitan yang penuh arti, yang akan menghasilkan motivasi tinggi dan tujuan organisasi.
Ada dua tipe kegiatan mentoring yakni yang bersifat alami dan yang direncanakan. Yang bersifat alami seperti melalui persahabatan, pengajaran, pelatihan dan konseling. Sedangkan yang direncanakan yakni melalui program-program terstruktur dimana mentor dan mentee itu memilah dan memadukannya melalui proses-proses yang formal. Kegiatan mentoring melibatkan seorang yang lebih bijaksana, lebih berpengalaman dalam menyampaikan pengetahuan mereka kepada seseorang yang kurang berpengalaman. Seorang mentor mengenal betul peran apa yang akan dimainkannya.
Bukan seperti seorang Pelatih tetapi menjadi model/panutan dalam kegiatan mentoring sekaligus menyampaikan nasehat ahlinya kepada mentee itu. Hal ini merupakan suatu hubungan yang diberikan secara gratis dan di dalamnya terdapat dorongan, bimbingan, dukungan dan nasihat secara netral untuk membantu mentor dan mentee/ protégé dalam pengembangan organisasi dan pengembangan pribadi. Bentuk mentoring berupa nasehat yang berhubungan dengan praktek di tempat tugas termasuk panutan secara one-to-one, kelompok dan organisasi.
Mentoring adalah sebuah pembinaan dari orang-orang yang kita anggap sudah ahli atau lebih senior, yang bertujuan untuk memindahkan atau mentransfer nilai-nilai hidup,konsep pikir dan keahlian, untuk memunculkan para ‘successor’ – penerus kesuksesan.
Pada dasarnya, orang-orang yang menjadi mentor memultiplikasikan diri kepada orang-orang yang berada dalam pengayoman mereka, dan sebagai hasilnya, mereka akan bisa menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang lebih besar dengan cepat. Tanpa berusaha untuk memultiplikasikan apa yang sudah kita miliki kepada orang-orang lain, maka apa yang kita raih akan tetap terbatas, jauh berbeda dibanding ketika kita memiliki successor. Dalam pengertian yang lebih spesifik, successor adalah orang-orang yang kita mentor, yang akan bisa mewarisi nilai-nilai, keahlian, sikap hati dan filosofi hidup yang sama, sehingga kita akan mampu memunculkan hasil kerja berkali-kali lipat, karena kita tidak lagi mengerjakannya seorang diri.
Yang penting dalam sebuah proses mentoring bukanlah usia orang yang bersangkutan, melainkan keahlian dan senioritasnya dalam sebuah pekerjaan atau bidang tertentu. Orang yang lebih tua tidak selalu dapat dikatakan sebagai senior. Usia yang lebih tua tidak menentukan senioritas dalam hal kecakapan maupun kualitas kerja. Jadi, sebelum meminta seseorang untuk menjadi mentor bagi kita, sebaiknya kenali dahulu kualitas orang yang bersangkutan. Hubungan yang terbangun di antara orang yang mementor dan orang yang dimentor adalah hubungan yang jauh lebih dekat dari sekedar keprofesionalan belaka – dibutuhkan sebuah interaksi kehidupan di sini. Itu sebabnya, ketika kita memiliki mentor yang berlainan jenis, tanpa sungguh-sungguh mengenali siapa orang yang akan menjadi mentor kita, dikhawatirkan akan bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena interaksi kehidupan yang berlangsung secara terus menerus tersebut.
Rentang waktu yang dilalui seseorang dalam menekuni suatu pekerjaan juga ikut berperan dalam menentukan senioritas dan keahlian, namun pendidikan bisa menjadi salah satu by-pass atau ‘jalan pintas’ untuk menjadi lebih ahli dari orang-orang lain yang tidak pernah menempuh pendidikan apapun.
Banyak ditemui dalam berbagai instansi, ada orang-orang yang masih muda tetapi memiliki posisi yang lebih tinggi dari rekan-rekannya yang lebih tua, karena mereka telah menempuh sebuah jalur pendidikan yang membuat kemampuan berpikir, skill, dan keahlian mereka di atas rata-rata. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang secara usia jauh lebih tua dan telah menekuni pekerjaan tertentu lebih lama, namun lebih lambat berkembang karena mereka ‘hanya’ belajar dari proses trial and error.
Orang yang menempuh jalur pendidikan ataupun training yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu --yang memiliki banyak tenaga pengajar ahli akan bisa menimba beragam ilmu dan pengalaman, sehingga secara otomatis akan lebih ‘kaya’ dalam pengetahuan dan wawasan, dibanding seseorang yang hanya belajar melalui trial and error. Jadi, dalam proses mentoring, yang terpenting bukanlah faktor usia, melainkan keahlian, kapasitas, dan kematangan orang yang bersangkutan.
Sebagai contoh, apabila kita ingin menekuni satu jenis pekerjaan tertentu, yang perlu kita lakukan adalah melakukan pengamatan dan mencari orang yang terbaik di area tersebut, kemudian meminta kesediaan orang itu untuk mementor kita. Tentang berapa banyak mentor yang dibutuhkan, itu relatif. Jika kita bisa mendapatkan seorang mentor yang bagus, maka itu sudah lebih dari cukup, dibandingkan memiliki beberapa mentor sekaligus yang kadangkala mempunyai pertimbangan, pemahaman, pengalaman, bahkan nilai-nilai hidup dan konsep pikir yang ‘bertabrakan’ dengan kita, karena efeknya akan sangat buruk bagi kita yang dimentor.
Pengertian mentoring sesungguhnya jauh melampaui pemindahan keahlian dalam jangka pendek belaka, jadi kita perlu mengingat bahwa hubungan yang kita miliki dengan mentor adalah sebuah hubungan yang berkaitan dengan kehidupan. Itu sebabnya, salah satu aspek yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam mencari seorang mentor adalah seberapa besar visi yang ia miliki ketika ingin mengerjakan sesuatu, karena ketika kita dapat mengenali apa yang ada di balik hati atau pikiran calon mentor tersebut, kita akan bisa membangun sebuah hubungan yang sifatnya life-time relationship. Untuk itu, kita harus kembali kepada tujuan sejati mentoring seperti yang sudah disebutkan di awal, yaitu untuk memindahkan nilai-nilai hidup,konsep pikir dan keahlian, yang pada akhirnya akan membangkitkan kita sebagai successor atau penerus kesuksesan dari sang mentor. Karenanya, istilah mentoring ini perlu kita bedakan dengan pelatihan, karena pelatihan sifatnya singkat, sedangkan mentoring bersifat jangka panjang dan memiliki tujuan yang jauh lebih besar dari hal-hal yang bersifat pribadi atau untuk kepentingan sesaat belaka.
Apabila kita sudah menemukan mentor yang tepat, hal pertama yang harus diperhatikan adalah, kita perlu belajar menghargai sang mentor sebagai orang yang memang sudah ahli di bidangnya, sehingga kita mempercayai apapun yang disampaikan sang mentor sebagai ‘sumber input’ dalam hidup kita – sebagai tolok ukur dari apa yang benar/tidak benar, apa yang boleh/tidak boleh kita lakukan.
Yang kedua, kita juga perlu membuka diri dan memiliki keinginan untuk belajar, karena tanpa mau belajar dan berubah, kita justru akan membuat sang mentor frustrasi dan menghambat proses mentoring itu sendiri.
Yang ketiga, kita perlu memiliki keinginan atau kerelaan untuk mengadopsi
semua nilai hidup, konsep pikir, gaya hidup, bahkan filosofi sang mentor, dan
menerapkannya dalam hidup kita. Karena itu, sebelum kita memilih orang yang akan
menjadi mentor kita, kita perlu mengenali kriteria seorang mentor yang baik.
Untuk memilih mentor yang tepat, pertama-tama, gunakan insting Anda untuk memastikan Anda mulai menemukan orang yang cocok untuk dijadikan mentor.
Belajarlah untuk menganalisa dan mengamati kehidupan calon mentor tersebut, sehingga dengan berbagai pertimbangan kita bisa memutuskan bahwa inilah orang yang paling cocok.
Kita perlu belajar melihat dan mengenali bagaimana kehidupan sehari-hari sang calon mentor, karena mau tidak mau, keberadaan kita pun akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kehidupan sehari-hari mentor kita. Jika kita memilih mentor yang keliru, maka keruwetan hidup yang selama ini dialami oleh sang mentor cepat atau lambat juga akan mulai masuk dalam hidup kita. Itu sebabnya kita sangat perlu belajar mengamati dan mengambil keputusan berdasarkan kemantapan hati.
Mentoring adalah sesuatu yang sifatnya lifetime, jadi diharapkan kita semua mulai bisa memahami konsep atau arti sesungguhnya dari mentoring. Itu sebabnya, hubungan dalam mentoring lebih seperti hubungan kekeluargaan hubungan antara ayah dengan anak jadi sehingga merupakan sesuatu yang wajar apabila kita mulai menunjukkan balas jasa/ucapan terima kasih kita setelah sang mentor mengerjakan tugasnya dalam mementor kita dan membawa kita meraih keberhasilan. Sama seperti hubungan anak dengan orangtua, karena apa yang telah diinvestasikan oleh orangtua dalam hidup anak, maka sudah sewajarnya jika si anak melakukan sesuatu untuk membahagiakan mereka dan membuat mereka merasa bangga dengan keberadaan si anak. Demikian pula dalam proses mentoring, ketika orang-orang yang dimentor telah meraih kesuksesan yang luar biasa, adalah sesuatu yang wajar jika orang-orang yang dimentor ini mulai menunjukkan balas jasanya; membuat orang yang mementor merasa bangga atas apa yang sudah diraih oleh orang orang yang dimentor tersebut. Jadi, balas jasa ini sebenarnya harus muncul dari hati yang terdalam, karena kita sangat bersyukur dan menghargai apa yang sang mentor sudah investasikan dalam hidup kita sehingga kita bisa meraih kesuksesan seperti
sekarang. Apabila sebagai orang yang dimentor kita bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya, bahkan menjadi lebih unggul dari sang mentor, hal itu akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi sang mentor. Belum lagi jika di hadapan orang banyak, orang yang dimentor ini menceritakan tentang apa yang telah dilakukan sang mentor sehingga membuat dirinya menjadi seperti sekarang; itu jauh melebihi uang atau materi yang dapat diberikan kepada sang mentor. Tetapi lepas dari apa yang telah diberikan, apakah dalam bentuk pujian ataupun materi, lakukanlah kepada sang mentor apa yang Anda ingin terima dari orang-orang yang Anda mentor di kemudian hari.

Mentoring adalah suatu hubungan yang bersifat ‘blending life’ atau interaksi kehidupan sehingga saling mempengaruhi satu sama lain. Jadi, akan jauh lebih baik jika kita memiliki seorang mentor yang dekat dengan kita, di mana kita bisa bertemu dan berinteraksi secara langsung setiap waktu, dan mengamati kehidupan dan keluarganya dari dekat. Tapi bukan berarti kita tidak bisa dimentor oleh orang-orang yang jauh, karena kita tetap bisa belajar berinteraksi dengan sang mentor melalui berbagai macam cara. Sekarang ini dunia sudah menjadi semakin ‘kecil’ berkat adanya teknologi. Kita bisa melakukan teleconference dengan orang-orang yang ada di belahan dunia lain, menggunakan sarana e-mail atau telepon untuk tetap membangun hubungan dengan sang mentor. Memang secara otomatis ada biaya tambahan yang harus kita keluarkan. Komunikasi adalah kata kunci yang paling penting apabila kita ingin mendapatkan hasil yang maksimal dari kegiatan mentoring. Apabila kita telah meminta kesediaan seseorang untuk mementor kita, artinya apapun yang ia sampaikan harus kita lakukan. Jika kita memilah-milah, kita hanya mengikuti apa yang dikatakan sang mentor dalam aspek A, tapi tidak dalam aspek B, kita tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Itu sebabnya dalam memilih seorang mentor, kita harus mencari seseorang yang sudah bisa berfungsi seperti ‘cetakan’, sehingga kehidupannya itu bisa ‘dicetakkan’ atau diterapkan sepenuhnya ke dalam hidup kita. Pastikan Anda mulai membuka mata dan telinga selebar-lebarnya dan belajarlah menemukan seorang mentor sejati dalam hidup Anda, maka Anda pun akan menjadi orang-orang yang sangat sukses dan berguna, bukan hanya bagi diri sendiri dan keluarga, tapi juga bagi masyarakat dan bahkan bangsa ini. Dengan menemukan seorang mentor, Anda telah menemukan kunci menuju kesuksesan sejati.
Syarat-syarat untuk bisa kita jadikan sebagai Mentor :
1. Bisa dipercaya
Sangat mutlak, karena tidak mungkin kita membicarakan mengenai pekerjaan kita kepada orang yang tidak bisa dipercaya, yang akan terjadi bukanlah pemecahan masalah justru sebaliknya.
2. Memiliki ” Respect ”
Mentor dalam hal ini harus telah mencapai suatu keberhasilan tertentu yang membuat kita ” Respect ”. Sebagai contoh, kalau kita seorang marketing, mentor kita idealnya juga orang maketing yang berprestasi lebih baik dari kita.
3. Memiliki ” Knowledge ” yang lebih baik
Kita memerlukan mentor yang bisa memberikan pendapat, ide dan solusi sekaligus dalam satu paket, kalau mentor kita memiliki knowledge yang tidak lebih baik dari kita, itu namanya setali tiga uang alias sami mawon. Mentor ini harus memiliki knowledge yang luas bahkan juga pengetahuan lain-lain diluar dari bidang kita karena hal ini juga akan memicu munculnya ide-ide segar, kreativitas dan otomatis meningkatkan knowledge kita juga.
4. Memiliki ” Skill ” yang lebih baik
Bagaimana mentor mengajarkan kepada kita atau memberikan pendapat dan solusi kalau ” Skill ” atau keahlian yang dimiliki sama atau bahkan lebih buruk dari kita ?. Suatu hal yang mustahal kata pelawak Asmuni, yang terjadi bukan ia yang jadi mentor justru kita yang jadi mentor, lebih parah lagi adalah timbulnya persetujuan terhadap masalah yang kita hadapi yang bersifat negatif.

5. Memiliki Semangat Tinggi (self-motivated)
Semangat sangat penting dan bersifat menular seperti virus. Kalau mentor kita memiliki semangat tinggi otomatis akan membangkitkan semangat kita. Ciri-ciri dari mentor seperti ini adalah kalau kita perhatikan keseharian mereka sepertinya selalu tersenyum dan tidak punya masalah.
6. Memiliki Sikap Mental Positif (SMP)
Positive Thinker penting yang akan menghasilkan Positive Attitude, itulah yang dimaksud dengan Sikap Mental Positif (SMP). Jadi Mentor mutlak harus memiliki SMP agar ia bisa melihat secara jelas/jernih (crystal clear) dan obyektif terhadap aktifitas yang kita lakukan sehingga bisa memberikan coaching dengan tepat. Orang orang yang memiliki SMP selalu optimis bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik, bisa melihat adanya solusi dalam setiap masalah.
7. Memiliki Sikap Empathy
Sering kali kita salah kaprah dalam membedakan yang mana Simpathy dan mana Empathy. Simpathy merupakan sikap persetujuan terhadap suatu hal (sebagian besar masalah) tanpa ada solusi, contoh apabila ada teman kita mengeluh soal pekerjaannya yang membuat ia tertekan dan sikap kita menyetujui bahwa memang demikian adanya dan ikut larut secara emosional. Sedangkan Empathy lebih kepada pemahaman kita terhadap masalah yang dihadapi oleh orang lain dan berusaha memberikan suatu saran menuju jalan keluar / solusi serta tidak menjadikan suatu masalah yang dihadapi sebagai suatu tantangan bukan hambatan.
8. Peduli (caring)
Seseorang bisa kita jadikan sebagai mentor kalau ia memiliki kepedulian terhadap orang lain (people oriented). Karena ia harus mau banyak mendengar dan berbagi kepada orang lain. Rata-rata para pemimpin dunia adalah orang-orang yang people oriented dimana mereka juga mempunyai mental melayani bukan sebaliknya, sehingga para pemimpin dunia banyak dijadikan mentor oleh orang-orang yang sukses.
9. Decision Maker
Seorang mentor dituntut untuk bisa mengambil suatu keputusan terhadap suatu solusi yang disarankan kepada kita. Mentor tidak seharusnya memiliki sikap ragu ragu, ia harus tegas dalam pengambilan keputusan dan hal ini akan sangat membantu kita.
Jadi pada dasarnya kita semua secara tidak sadar telah melakukan mentoring dan memiliki sikap sebagai mentor, tetapi apakah mentor kita memiliki semua persyaratan diatas atau tidak. Akan jauh lebih baik kalau kita memiliki mentor dengan persyaratan seperti diatas, yang akan membantu kita mencapai sukses lebih cepat.
Apa yang dapat ditawarkan oleh mentor bagi mentee
• Ketrampilan dan pengetahuan yang baru
• Pengalaman dalam organisasi
• Iklim yang mendukung untuk mengevaluasi sukses dan kegagalan
• Kesempatan berhubungan dalam jaringan kerja
• Menerima dorongan dan dukungan
• Mendapatkan pengakuan bagi keberhasilan
• Mengembangkan cara pandang yang baru dan berbeda
• Mendapatkan asistensi dengan gagasan-gagasan
• Menerima nasehat dan petunjuk dari sumber yang obyektif
• Menerima reasuransi atau dukungan pendapat.
Apa manfaat program mentoring bagi mentor
• Memperluas ketrampilan dan pengetahuan mereka sendiri
• Membantu menemukan kembali prinsip-prinsip dan praktek prektek dasar dalam organisasi
• Mengembangkan lebih jauh lagi ketrampilan diri dalam pengajaran, konseling dan kemampuan mendengarkan
• Memungkinkan mereka untuk mendemonstrasikan ketrampilan tambahan dalam mengembangkan individu lain
• Memperluas jaringan kerja profesional dan personal mereka
• Meningkatkan kemampuan mereka dalam berbagi pengalaman dan pengetahuan
• Meningkatkan kesadaran mereka akan kebutuhan masyarakat lokal
• Pemahaman yang lebih baik akan berbagai kebutuhan motivasi dan kefrustasian orang dalam organisasi
• Membantu memperbaiki kesehatan ekonomi masyarakat lokal.
Peran dan tanggung jawab mentor
Dalam program yang Spesifik
• Adanya pelaporan secara berkala kepada semua yang terkait tentang perkembangan pribadi, kegiatannya (tupoksi dan hasil) dan hubungan dengan mentor.
• Bekerja dengan individu potensial untuk menciptakan rencana aksi bagi pengembangan profesional dan individu mereka.
• Menyediakan waktu minimum 5 jam / bulan untuk mentee.
Dalam bisnis yang spesifik
• Mendorong individu potensial untuk mengembangkan potensi mereka secara penuh
• Membimbing individu potensial agar dapat melalui berbagai tahapan yang berbeda
dalam organisasi
• Menolong perencanaan, pertumbuhan dan pengembangan kinerja organisasi.
• Membantu individu potensial untuk memahami kebutuhan yang harus ditindaklanjuti dan memberi berbagai saran tentang cara pencapaiannya.
• Membantu mengevaluasi perencanaan dan keputusan individu potensial.
• Membantu pengusaha muda mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang berbeda dan memilih yang kiranya paling efektif.
Untuk nasehat umum
• Memberikan dukungan dan nasehat yang rahasia dan tidak memihak
• Memberikan berbagai kesempatan membangun jaringan kerja dan menunjukan kepada individu potensial berbagai pilihan alternatif dan kesempatan dalam komunitas atau suatu kelompok.
• Mentransfer pengalaman dan pengetahuan organisasi untuk mempercepat pembelajaran si individu potensial
• Menyediakan informasi, pedoman, komentar-komentar yang konstruktif
• Membantu dalam pengelolaan hambatan yang mungkin mengancam pencapaian tujuan organisasi mereka
• Bersama individu potensial, mengembangkan dan merevisi daftar kompetensi yang dibutuhkan demi keberhasilan dan pengembangan kinerja organisasi, serta pengembangan pribadi individu potensial.
Untuk dukungan emosional
• Bersikap proaktif dalam melakukan kontak dengan individu potensial.
• Menyediakan dukungan, dorongan dan bimbingan dalam sikap yang profesional dan bersahabat, dan bebas dari penilaian pribadi yang subjektif kepada individu potensial.
• Berbagi pengalaman dan mendengarkan
• Memainkan peran sebagai teman, guru, orangtua atau fasilitator
• Bertindak sebagai dewan pendukung bagi ide-ide baru
• Selalu melakukan tindakan yang berpihak pada kepentingan individu potensial
• Mencari bantuan dari adanya mentor lain (dalam hal ini Pimpinan yang lebih tinggi, orang yang lebih berpengalaman atau konsultan mentoring) apabila individu potensial menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan pengalaman dan/atau keahlian seorang Mentor.
Untuk kegiatan monitoring umum
• Menyoroti perkembangan berbagai masalah atau ketidak berlanjutan komitmen, dan menolong individu potensial untuk mengatasinya.
• Memonitor perkembangan kinerja dan memberikan nasehat yang relevan dalam organisasi.
• Menolong untuk mengidentifikasi berbagai kesulitan potensial dalam organisasi yang tidak diketahui oleh individu potensial.
• Perlu format model reporting yang umum.
Leadership
Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain: Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin. Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin. Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974). Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970). Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership) Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studistudi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin. Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders) Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations). Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model) Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987). Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power). Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership) Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence(pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978). Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan praktekpraktek organisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing .

Previous
Next Post »